Subscribe

Powered By

Free XML Skins for Blogger

Powered by Blogger

Selasa, 09 Desember 2008

Petani Dan Kelangkaan Pupuk

Masalah klasik yang seringkali dialami petani di lapangan adalah tentang pupuk, air dan harga gabah. Ketersediaan pupuk selalu menjadi masalah dalam proses budidaya. Jika tidak tepat waktu, maka hasil produksi tidak akan optimum. Sama seperti ketika Anda sedang lapar, tapi tak ada makanan yang bisa dimakan, maka yang terjadi adalah lemas, kinerja Anda menjadi tidak maksimal karena tak ada energi dan pikiran menjadi tidak fokus karena tidak ada nutrisi baru yang terkirim ke otak. Begitu juga halnya dengan tanaman, proses pertumbuhannya terhambat, sehingga hasil produksinya rendah.

Kemelut kelangkaan pupuk masih saja terjadi dan dengan pola yang tidak jauh berbeda dari fenomena-fenomena sebelumnya. Masyarakat pun berhak menilai kinerja kelembagaan dan penegakan mekanisme pasar pada komoditas yang amat vital tersebut masih nol besar. Gangguan sistem provisi dan akses faktor produksi penting tersebut, ancaman terhadap penurunan produksi pertanian amatlah besar. Suka atau tidak suka, kini pupuk anorganik, terutama yang berbahan baku nitrogen (urea) dan fosfat (SP-36/ TSP), merupakan prasyarat penting dalam intensifikasi proses produksi pertanian di Indonesia.

Indonesia sedang menghadapi ancaman penurunan produksi padi, terutama di tingkat mikropetani dan lokalitas produksi, karena rusaknya lahan akibat bencana banjir dan ancaman musim kering pada pertengahan tahun ini. Secara nasional, produksi padi tahun 2001 mencapai 49,6 juta ton gabah kering giling (GKG), setara 28,7 juta ton beras setelah dikurangi susut dan kebutuhan benih. Apabila ancaman penurunan produksi itu sampai tiga persen, produksi padi tahun ini diperkirakan hanya 48,1 juta ton GKG atau setara 27,7 juta ton beras. Dengan tingkat permintaan beras mencapai 29,9 juta ton (untuk konsumsi rumah tangga 133 kg per kapita per tahun oleh 210 juta penduduk plus kebutuhan antara dan lainnya), impor beras tahun 2002 mencapai 2,2 juta ton. Suatu jumlah yang merisaukan.

Pertanyaan yang timbul adalah siapa yang “bermain” sampai terjadi kelangkaan yang “mencekik” para petani, yang merupakan “pahlawan” dalam penyediaan pangan pokok nasional itu? Betapa tidak, Departemen Pertanian pada 2008 mencatat kontribusi petani dalam negeri yang mampu memproduksi sekitar 36,75 juta ton beras, sehingga mereka sukses dalam menjaga kondisi aman untuk ketersediaan pangan nasional. Hal itu sejalan dengan kuantitas kebutuhan pangan sebesar 32,62 juta ton yang berarti ada surplus sekitar 4,13 juta ton, sehingga kaum petani mampu menghemat anggaran untuk impor beras yang kini harganya “melangit” itu.

INDUSTRI pupuk nasional sebenarnya telah paham betul bahwa apabila kebutuhan pupuk di pasar domestik tidak dapat dipenuhi, tingkat ketahanan pangan Indonesia terganggu, seperti diuraikan di atas. Kebutuhan pupuk di dalam negeri juga meningkat cukup pesat walaupun sempat menurun saat puncak krisis ekonomi. Misalnya, kebutuhan urea yang telah mencapai 4,5 juta ton diperkirakan masih akan tumbuh tiga persen per tahun, terutama karena permintaan dari sektor pertanian (FertEcon, 2000). Kebutuhan itu masih akan tumbuh pesat apabila konsumsi urea oleh sektor industri juga meningkat pesat.

Solusi Terintegrasi
Sebenarnya masalah ini sangat kompleks, jadi membutuhkan kerjasama yang sinergis dari berbagai pihak dan membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menyelesaikannya. Bukan hanya Dinas Perdagangan saja, tapi juga Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Pemerintah Daerah, produsen pupuk, distributor, pengecer bahkan petani itu sendiri. Beberapa langkah yang mungkin bisa diambil antara lain : Pertama, RDKK harus valid agar pupuk tersalur tepat kepada orang yang membutuhkan. Sehubungan dengan itu, maka PPL dan THL - TBPP sebagai laskar terdepan penghubung pemerintah dengan petani harus mampu mengontrolnya. Selain itu harus mampu menyajikan data dengan benar mengenai luas hamparan sehingga quota pupuk tiap daerah tepat sasaran dan tepat jumlah.

Kedua, Produsen mampu meningkatkan produksinya, sehingga sebesar apapun kebutuhan petani, pupuk akan selalu tersedia. Ketiga, Meningkatkan peran kontak tani dalam penyediaan pupuk. Keempat, Menggunakan pupuk organik sebagai pupuk alternatif. Selain harganya jauh lebih murah, bahannya banyak tersedia di alam, sehingga tak perlu takut terjadi kelangkaan, mampu mengembalikan kesuburan tanah serta mampu menghasilkan produk pangan yang minim zat kimia beracun. Kelima, JUJUR dan AMANAH terhadap tugas dan kewajiban masing-masing, sehingga tidak akan terjadi penyimpangan, penimbunan atau permainan harga pupuk.

Dalam mengatasi kelangkaan pupuk, pemerintah harus menunjukkan sikap keberpihakan pada petani, dengan melakukan langkah-langkah strategis. Utamanya dalam mengupayakan penyediaan pupuk dalam jumlah cukup, diimbangi dengan mewujudkan kelancaran distribusinya.

Di sisi lain, perlu adanya transparansi dan langkah pengawasan ketat, untuk menghindarkan segala macam pernyimpangan, serta perlunya kebijakan nyata untuk memberikan proteksi pada petani. Sejumlah pihak juga diharapkan tidak menangguk keuntungan dari kelangkaan pupuk ini dengan memainkan tataniaga pupuk.

Pertanian adalah sektor vital dalam pertumbuhan suatu negara. Petani harus tetap menanam jika kita tidak ingin mengalami krisis pangan. Bayangkan jika petani tak ada yang mau menanam lagi. Takada lagi bahan makanan yang bisa diolah dan dimakan. Bisa saja kita import dari luar negeri, tapi tentu saja harganya jauh lebih mahal dan belum tentu aman. Mari kita terus perjuangkan nasib petani agar tercapai swasembada pangan dan meningkatnya kesejahteraan petani.!

*Dimuat Harian Bhirawa, 2 Desember 2008

Tidak ada komentar: